Sabtu, 06 Juni 2009

Novel

“ANTARA DUNIA KEBINGUNGAN DAN PENCARIAN PEGANGAN”
Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika
(Analisis Sosiologi Sastra)

Novel “Dadaisme” karya Dewi Sartika merupakan karya yang luar biasa. Karya Dewi Sartika tersebut memunculkan pandangan dunia kebingungan, pengalaman manusia postmodern yang kehilangan dan mencari pegangan. Dalam mengatasi masalah yang muncul dalam kehidupan metropolis, wilayah perantauan. Dewi Sartika menawarkan solusi untuk menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan, mencari kembali inti kebudayaan. Dia menganggap budaya Minangkabau yang dilandasai prinsip kemenduaan dapat membangun harmoni, tetapi Dadaisme baru sebuah alternatif, belum menemukan cara, seperti rumah tampak, tapi tak tahu jalan karena pengembaraan yang begitu lama, begitu jauh.

Novel Dadaisme Karya Dewi Sartika
Diawali kisah Yusna, putri pasangan Datuk Malinda dan Nidar, yang akan dinikahkan dengan Rendi, anak Sutan Bahari, seorang kaya di Pariaman. Namun, pada akhirnya Isabella, adik Yusna yang menggantikan pada hari pernikahan itu. Di satu sisi Isabella mengasihi Asril. (hal 1 – 7)
Cerita diteruskan dengan hubungan e-mail antara Aleda yang punya pasien Nedena dan Magnos yang punya pasien Flo yang membunuh keluarganya. Aleda bercerita tentang Nadena dan juga kehidupan pribadinya sebagai istri yang dimadu Asril. Cerita ditarik ke belakang lagi untuk melihat penyebab Aleda dimadu. Rupanya, Aleda yang sudah merasa dirinya tak akan bisa memberikan keturunan kepada Asril memasrahkan suaminya kepada perempuan bernama Tresna. Dari Tresna, Asril memiliki dua anak bernama Labai yang autis dan Yossy yang normal. (hal. diloncat-loncat diseluruh bagian, 8 – 174)
Banyak tokoh dan pengisahan lainnya mengalir juga di novel ini, misalnya dialog lelaki dengan lelaki, Jing dengan Ken Putra Pratama saat si Ken menemani tunangannya karena kabar duka. Di sela dengan kisah Nedena, hubungan Ken dan Jing tiba-tiba saja berlanjut menjadi hubungan homoseksualitas (hal 175 -220). Dan kisah ini sangat aneh karena saling menjalin kebetulan: Jing ternyata anak kandung dari Aleda!
Di sela tiap peristiwa di atas, sejak awal hingga akhir sesekali disisipi kisah lain yang saling terkait termasuk tentang Nedena, tentang percakapan Magnos dan Aleda tentang Flo dan Nedena juga tentang kehidupan dan dunia ilmu filsafat, kedokteran dan psikologi.

Tinjauan Sosiologi Sastra
Di antara genre karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah (khususnya novel) yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. (Ratna, 2004: 335). Alasannya adalah a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itu, Hauser (1985) (dalam Ratna, 2004: 336) mengatakan bahwa karya sastra lebih jelas dan mewakili ciri-ciri zamannya. Seperti novel “dadaisme” karya Dewi Sartika. “Kekacauan tokoh dan peristiwa-perselingkuhan, anak-anak haram yang tidak normal, dan poligami dalam novel pada hakikatnya merupakan gambaran manusia masa kini, masa di mana masing-masing orang sibuk menghadapi berbagai masalah tanpa sempat mendalami masing-masing masalah”. Kehidupan manusia sekarang dengan demikian serba pragmatis, serba sepotong-sepotong.
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga macam, sebagai berikut.
1. Menganalisis masalah-masalah social yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi.
2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.
3. Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan penelitian karya sastra sebagai gejala kedua.
(Ratna, 2004: 340)

Dikaitkan dengan perkembangan penelitian karya sastra, penelitian yang kedualah yang dianggap lebih relevan. Pertama, diabandingkan dengan model penelitian yang pertama dan ketiga, dalam model penelitian yang kedua karya sastra bersifat aktif dan dinamis sebab keseluruhan aspek karya sastra benar-benar berperanan. Kedua, dikaitkan dengan ciri-ciri sosiologi sastra kontemporer, justru masyarakatlah yang harus lebih berperanan. Masyarakatlah yang mengkondisikan karya sastra, bukan sebaliknya.

Ø Pengarang
Berbeda dengan karya-karya yang dihasilkan pengarang-pengarang Minangkabau yang lain, yang lebih memiliki gambaran eksplisit tentang Minangkabau, Dadaisme mengangkat persoalan yang berbeda. Kemungkinan penyebab utama dari perbedaan ini adalah latar belakang Dewi Sartika. Dewi Sartika berdarah Minang, tetapi lahir di Cirebon dan selama hidupnya dilalui sebagai orang Minangkabau perantauan. Mereka bisa bergaul dengan semua teman dari suku bangsa yang lain, tetapi akan selalu diingatkan bahwa dia orang Minang yang harus menjaga diri dan nama baik.
Secara sosiologis dia dapat berada di mana saja, dan mampu beradaptasi dengan baik, tetapi mereka akan tetap mempertahankan keminangkabauannya secara ideologis. Perkawinan Rendi dengan Issabella yang dimulai dengan perasaan dendam dan muak ternyata akhirnya membuat Rendi cukup bahagia, bisa mencintai istri yang hanya ditemuinya di pelaminan.
“Perempuan yang kukenal sebelumnya tak satu pun yang kucintai,” kata Rendi.
Hal ini dapat dilihat sebagai keberpihakan pandangan pengarang terhadap sesuatu yang diidealkan dalam adat.
Dunia rantau Dewi Sartika yang secara sosiologis berhubungan dengan pluralitas budaya dan pemikiran, dalam perkembangan peradaban yang mengglobal, di sisi lain berhadapan dengan ideologi Minangkabau yang dipandang sakral. Perantauan menjadi batu ujian membentuk diri menjadi pembentukan manusia Minangkabau sejati.

Ø Dadaisme dan Sistem Kultural Zamannya
Globalisasi ekonomi dan sistem informasi yang terbuka untuk diakses manusia paling primitif pun, memberi peluang terhadap terjadinya perubahan adat dan sistem sosial tradisional di Minangkabau. Menjamurnya sarana hiburan dan pusat-pusat perbelanjaan sebagaimana yang tumbuh di kota-kota lain memberikan perantauan baru bagi orang Minangkabau walaupun tidak berpindah tempat. Pergaulan bebas dan prostitusi sudah menjadi budaya baru, dan kehamilan Yusna dapat dilihat sebagai rembesan peradaban baru yang sudah menjalar mencapai dunia tradisionalis atau dapat dikatakan sebaliknya, dunia tradisional telah dihisap masuk ke dalam budaya global.
Pengaruh budaya global yang kapitalistik itu menurut hipotesis Goldmann (faruk, 1999: 124) melahirkan kebudayaan yang termediasi atau terdegradasi. Hubungan yang pada awalnya dilandasi nilai guna berubah menjadi nilai tukar. Walaupun demikian, nilai otentik yang didasarkan pada nilai guna itu sesungguhnya masih tetap melekat dalam diri manusia.
Perubahan nilai itu dalam novel secara eksplisit dapat digambarkan oleh perjodohan Yusna dan Rendi yang didasarkan adanya pertolongan finansial yang diberikan Sutan Bahari, ayah Rendi kepada keluarga Yusna. Sutan Bahari menginginkan anaknya yang terbiasa hidup di rantau dan tidak mengenal tradisi Minangkabau menikah dengan gadis sekampung, bukan gadis lain suku. Ayah Yusna tidak dapat menolak ketika Sutan Bahari memintanya untuk melamarkan Yusna kepada persukuan istrinya.
Alasan Sutan Bahari menjodohkan anaknya Rendi dengan gadis sekampung dengan menggunakan kekuasaan uangnya di satu sisi dapat dilihat sebagai bertahannya nilai otentik dalam dirinya. Sutan Bahari melihat nilai ideal dalam relasi antarorang sekampung di tengah sistem nilai yang berubah, di tengah menggejalanya peradaban baru yang bebas, yang berusaha dihindarkan dari pilihan hidup Rendi sebagai generasi penerus Sutan Bahari.
“Kau tahu, Nak. Mula-mula papa berharap kau menikah dengan Yusna. Tapi ketika papa melihat Isabella, dia tampak pantas untukmu. Kau tahu Nak, dia gadis yang kuat dan bias memberimu anak, berapa pun yang kau inginkan. Papa tidak sabar ingin menimang cucu…” suara Sutan Bahari terdengar gembira. Tawa riang anak-anak kecil yang berlari-lari dengan kaki rapuhnya, memeluknya. Pipi bayi yang montok, ranum dengan tawa yang mengemaskan. Nafas kehidupan baru di dalam keluarganya. Dutan Bahari merindukan itu semua. (hal 64)

Rendi yang produk metropolitan, dikembalikan ke dalam lingkaran akar tradisinya dengan menikahkannya dengan Yusna. Akan tetapi, Yusna ternyata sudah menjadi gambaran kebudayaan yang terdegradasi. Issabella menggantikan posisi Yusna, menerima Rendi sebagai suaminya. Hal ini menggambarkan terjadinya perenungan dalam diri Issabela yang dengan berpisah dari Asril yang juga tradisional, dan menerima Rendi. Perenungan murni tradisional terjadi dalam diri Issabella dan Rendi.
Asril, pemuda yang telah mengisi relung hati Isabella selama dua tahun belakang ini. Takdirnya berhubungan erat dengan Isabella. Tanpa mereka berdua sadari, mereka sudah terjerat dalam benang merah yang sama.
“Pemuda itu…Uni, dia kan Asril?” Etek Is berbisik di telinga kakaknya. Nidar mengangguk.
“apa masalah pernikahan Isabella tidak diberitahukan padanya?” Tanya Etek Is lagi. Lagi-lagi Nidar menggeleng.
Etek Is terhenyak dan menunduk sedih.
(hal 56-57)

Hidup Rendi adalah banal, kelakuannya adalah liar, percintaan adalah jalan hidup yang dinikmatinya bak menikmati ranumnya buah cerry yang memerah. Mengisap madu bunga adalah kegemarannya dan liku-liku hidupnya. Kini di dadanya, tertelungkup seraut wajah polos seorang gadis desa yang menumbalkan dirinya demi nama baik keluarganya. Gadis polo situ telah menangis tak bersuara, tengah bergetar, tengah berdoa memohonkan perlindungan. (hal 61)
Pelan-pelan getar di dadanya melonggar. Nafas rendi mulai kembali teratur dan dengan pelan-pelan didongakkan dagu Isabella, menatap binar matanya yang bening, pipinya yang merah dan bibirnya yang merekah. Di dalam wajah mungil itu Rendi menemukan pesona alami seorang gadis muda. Pesona alami yang dimiliki setangkai bunga bagi sang kumbang. Pesona alami dari sang putrid bagi sang satria. (hal 61)




Ø Dadaisme dan Sistem Sosial Zamannya
Dadaisme hadir di tengah dunia yang majemuk, melepaskan diri dari latar budaya dan spiritualitasnya yang murni. Manusia-manusia yang dalam budaya universal dianggap sebagai objek, kemudian merebut tempat dalam paradigma baru itu menjadi subjek. Semua mendapat tempat dan semua bisa diakui. Tidak ada kebenaran tunggal.
Dadaisme cukup mahir dalam menjelaskan semua fenomena itu. Seperti merangkai kembali perjalanan sejarah perkembangan nalar manusia, dari dunia “menyamakan Tuhan”, menuju dunia “mempertanyakan Tuhan” dan mencapai “eksistensialisme” yang kemudian memecah menjadi “atheisme (tidak percaya Tuhan)” dan “percaya sepenuhnya dengan kekuasaan Tuhan”. Dalam melihat sistem sosial yang berkembang dengan cara demikian, tokoh Aleda dan Magnos dapat dijadikan penanda. Mereka berdua warga gereja, anak-anak Allah menurut kepercayaan agamanya yang menjadi pendurhaka. Menjalani hubungan sedarah yang terlarang. Mereka berdua masuk ke dunia “mempertanyakan Tuhan”, mempertanyakan keputusan-keputusan Tuhan dan merasa Tuhan sudah berlaku tak adil pada mereka dan memutuskan untuk meninggalkan Tuhan.
Hubungan sedarah yang terjadi antara Aleda dan Magnos dapat dilihat sebagai simbol dunia modern yang narsis, menganggap diri yang terbaik dan jatuh cinta pada diri sendiri. Di dalam pengembaraannya, seseorang yang membiarkan dirinya tenggelam dalam keterpecahan personal, ia pria atau wanita, namun tidak mau menjadi salah satunya secara pasti, menjadi malaikat dan setan sekaligus. Ia menuju penghancuran, penghancuran kepercayaan dan pertandaan. Ia menghancurkan dinding benteng hukum dan konvensi sosial yang menyebabkan arus nafsu (libido) mengalir dengan bebas.
Percintaan sejenis antara Jing dan Ken menggambarkan libido yang tidak berimbang mengingkari kebenaran pandangan Freud yang menganggap libido dalam diri manusia membangkitkan semangat untuk bertahan hidup, dan semangat penghancuran. Hubungan seksual sebagai libido pertahanan (melanjutkan hidup melalui keturunan), dan membunuh sebagai libido penghancuran.
“Tidak… bukan begitu… aku….” Ken mendadak mengalihkan wajahnya ke hadapan laki-laki yang sedang duduk di sisinya. Laki-laki yang entah sejak kapan mulai masuk dalam hidupnya dan mulai dicintainya.
……………
Jing tersenyum dan melangkah mendekat kea rah Ken yang masih duduk di atas kasur yang kusut masai. Jing meraih dagu milik Ken. Dagu yang kokoh itu didongakkan padanya dan Jing mencium bibir Ken dengan lembut. Kelembutan dan kedinginan sekaligus meraih sekujur tubuh Ken. Ken merasa ada rasa jijik yang mengasyikkan di dalam ciuman itu.

Hubungan sejenis Jing dan Ken adalah hubungan hampa dan memang diakhiri penghancuran mereka berdua. Bim saudara kembar Jing juga menggambarkan perilaku yang sama, melakukan pembunuhan masal dengan meledakkan bom di ruang-ruang publik yang ramai. Mereka berdua yang lahir sebagai generasi “mempertanyakan Tuhan”, kehilangan aspek religiositas dan memperhambakan diri pada logika semata, menuju penghancuran total nilai-nilai.
Aleda dan Magnos menuju arah yang berlawanan dalam pencarian eksistensialnya. Aleda memilih jalan “percaya sepenuhnya dengan kekuasaan Tuhan”, menuju poros induk budaya yang sudah lama ditinggalkan, sementara Magnos terjebak dalam “atheisme (tidak percaya Tuhan)”. Di sini Dewi Sartika menunjukkan keberpihakannya.
“Magnos, aku tetap pada pendapatku semula bahwa Tuhan pastilah ada. Kautahu, betapa banyak manusia yang mencoba mencari apa yang menyebabkan mereka selalu merasa ‘ada hal lain yang jauh dari sangkauan mereka’. ............ dan aku tidak pernah percaya bahwa dunia ini ada satu hal yang hanya berdasarkan kepada kebetulan belaka.
...................
“Kautahu, kita sedang membicarakan hal yang abstrak sekali, Magnos. Bahkan, aku sendiri tidak berani mengatakan—kecuali tentunya aku hanya bisa meyakinkan—bahwa Tuhan itu ada. Aku tidak mau ambil pusing walaupun spinoza mengatakan bahwa Tuhan itu serupa alam. Bagiku, Tuhan yang telah engkau kutipkan itu adalah hal yang nyata untukku”
...................
“Aku ingin menikah denganmu dengan tata cara adatku. Dengan Islam. Aku tahu, kamu dan aku berbeda agama, tapi maukah kamu menikah denganku dengan islam sebagai agamamu.” Asril mengurai kembali.
“apakah Tuhanmu baik?”
“Eh?”
Aleda buru-buru melengkapi kalimat miliknya, “Tuhan yang kamu sembah—yang kamu sebut Allah. Apakah Dia tidak akan meninggalkanku dalam kecemasan?”
“Tidak, Tuhan yang aku sembah tidak akan pernah meninggalkan hamba-hamba-Nya dalam kecemasan,”

Daftar Pustaka

Faruk. 1999. Hilangnya Pesona Dunia. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra, dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Denpasar: Pustaka Pelajar.

Sartika, Dewi. 2004. Dadaisme. Yogyakarta: Matahari.

puisi bebas

Parade Pentas

Malam dingin tak sedingin malam ini,
hati gundah,
mata tak kuasa kutahan untuk ditahan agar tak terpejamkan.
Sorak, tepuk tangan, serta teriakan-teriakan canda berseliweran kesana-kemari.
Tepatnya aku berada di depan puluhan peserta pelatihan.

Saat aku maju ke panggung
acara yang bisa dibilang cukup sederhana
tapi penuh canda yang mengerucut menjadi sebuah ejekan terdengar.
Pelorot, pelorot. Pentas terus berjalan,
tak kupedulikan canda ria
yang sebenarnya adalah para pencari hati.

Malam semakin larut,
kini kutak sanggup lagi memenjara mata yang ingin tidur.
Kuputuskan untuk kembali

Rasa kantuk membuat otakku tak lagi memperdulikan semua yang ada

Puisi

PERANAN YANG DRAMATIS AKTOR ENGGA
Dalam Musikalisasi Puisi Sosiawan Leak

Kekompleksan karya sastra membuat seorang apresiator dapat mengapresiasikan karya sastra melalui beberapa pendekatan. Salah satu pendekan yang dapat digunakan oleh apresiator dalam mengapresiasikan karya sastra adalah pendekatan objektif. Pendekatan ini menitik beratkan pada karya sastra itu sendiri
Pendekatan objektif ialah pendekatan yang memandang prosa fiksi sebagai karya yang sudah utuh dan mandiri (Nadjid, 2003: 39). Hal tersebut memiliki maksud bahawa prosa fiksi dapat di baca dan dipahami tanpa harus mengaitkan dengan semesta-semesta dalam hal ini dimaknai sebagai kehidupan yang berada di sekitar manusia—sebagai sumber penciptanya, pengarang atau penulis sebagai penciptanya, dan masyarakat pembaca sebagai penikmatnya. Pendekatan ini menyatakan bahwa prosa fiksi hanya dapat dipahami dengan cara membaca teks prosa fiksi itu sendiri atau di dalam drama menonton pertunjukan itu sendiri
Jika kita mengkaji tentang objek yang ada dalam sebuah drama, berarti kita menganalisis tentang segala sesuatu yang ada di dalam drama itu sendiri, salah satunya adalah aktor atau pemain. Pemaian atau aktor dalam suatu drama sering diidentikkan dengan akting (acting). Menurut indarti (2006: 65) menyatakan akting merupakan tindak perbuatan kreatif atau perilaku kreatif tentang manusia-manusia yang dicipta oleh seseorang peraga seni pertunjukkan. Lebih lanjut stanislavski (dalam indarti 2006: 66) menguraikan enam pelajaran pokok untuk calon aktor, yang salah satunya adalah peranan yang dramatis.
Dalam pertunjukkan musikalisasi puisi oleh sosiawan leak, Engga sebagai aktor utama mampu menampilkan peranan yang dramatis dalam pertunjukkan tersebut. Hal itu bisa kita lihat dari bagaimana ia mampu mempengaruhi atau menarik perhatian penonton. Sebagai contoh:
“korupsi – pornografi, ..........................presiden – imunisasi”
Dalam mengucapkan kata-kata tersebut Engga mempertunjukkan sesuatu yang luar biasa sambil menunjuk-nunjuk, dan gerakan-gerakan yang dimulai dari lambat kemudian cepat, cepat dan lebioh cepat terus menerus hingga terhenti. Hal inilah yang mampu memukau penonton, sehingga penonton lupa akan dirinya sendiri pada waktu adegan tersebut berlangsung
“Bapakku adalah pezina, ...................... ah! ah! ah!”
Dalam memperagakan puisi tersebut seolah-olah Engga sendiri yang melakukan perzinaan, sehingga pada saat ia mengucapkan “ah! ah! ah!” dengan tubuh yang lentur dan luwes memperagakan layaknya adegan hubungan perzinaan. Hal inilah yang membuat penonton terkesima seolah-olah penonton sendiri merasakan atau mengalami hubungan perzinaan itu sendiri.
Pada saat mempertunjukkan musikalisasi puisi tentang pornografi, penonton pun dibawa merasuk dalam dunia nyata oleh adegan yang ditampilkan oleh Engga. Ia muncul dengan berpakean jaket. Pada saat mempertunjukkan adegan pornogarafi ia melepas jaket seolah-olah ia mau telanjang, ternyata masih mengenakan kaos, lalu ia melepas kaosnya hingga ia telanjang setangah badan. Penonton pun hanya terpukau dengan adegan itu maka muncullah tepuk tangan yang meriah menyambut adegan pelepasan kaos Engga. Tidak puas sampai di situ ia pun melepas celana pendek yang ia pakai. Secara bersamaan penonton (khususnya wanita) menjerit histeris karena beranggapan Engga akan telanjang, akan tetapi Engga masih mengenakan celana yang lebih pendek lagi. Belum puas sampai di situ Engga pun hendak melepas satu-satunya pakaian yang menempel di tubuhnya, namun secara tidak sadar keinginan itu ia urungkan dan ia langsung menghilang di belakang panggung.
Pada dasarnya seorang aktor atau pemain akan mempu menarik perhatian [ublik atau penonton bila ia mampu memberikan segala apa yang ada pada dirinya (indarti, 2006: 66). Dengan demikian, pelaku yang baik, pada saat mengucapkan kalimat-kalimat diharapkan mampu memukau perhatian penonton sehingga penonton lupa terhadap dirinya sendiri pada waktu adegan tersebut dimainkan.

Kamis, 16 April 2009

Lirik Lagu

PEREMPUAN-PEREMPUAN JALANAN
DALAM KUMPULAN LIRIK LAGU DOEL SUMBANG
Analisis Semotika Signifikasi Ferdinan de Sausure

A. Latar belakang
Wanita adalah salah satu bukti kebesaran Allah SWT, diantara berjuta-juta bukti yang lainnya. Bagaimana tidak, makhluk indah yang sering juga disebut dengan istilah perempuan atau betina (yang ini khusus untuk binatang) selalu menjadi bahan pembicaraan yang menarik, selalu dianggap sebagai sumber inspirasi seniman baik bagi seorang pelukis, penari sampai seorang sastrawan dan yang lebih unik lagi wanita selalu menyuburkan rasa iri yang memang sudah menjadi sifat manusia yang sangat manusiawi.
Pesona wanita sejak dulu hingga sekarang sebetulnya tidak pernah berkurang atau bertambah, hanya tentu saja pada jaman sekarang peranan wanita yang lebih bervariasi dalam pola kehidupan masyarakat, membuat wanita semakin menonjol untuk dibicarakan dan dibahas (terutama oleh kaum lelaki). Membicarakan wanita tidak bisa terlepas dari bentuk tubuh, seksualitas, serta intelektualitasnya. Nampaknya akan terlihat aneh apabila menggambarkan seorang wanita tanpa tambahan komentar khusus mengenai bentuk tubuh ataupun paras wajahnya. Walaupun begitu dari abad ke abad, wanita selalu dianggap sebagai makhluk yang menyimpan berjuta misteri, terkadang terlihat menarik untuk diraih, namun sulit untuk ditaklukkan.
Bahkan yang lebih menunjukkan kekuasaan kaum wanita adalah dunia mode, wajar-wajar saja seorang wanita yang bersikap tomboy, malahan untuk orang-orang tertentu sifat ini dianggap menggemaskan dan menarik untuk disimak. Sebaliknya coba saja bila seorang laki-laki yang bersikap kewanita-wanitaan bukan sikap simpatik yang akan dia dapatkan melainkan cemoohan dan pandangan negatiflah yang menghampirinya.
Pengarang bagaimanapun juga tetap pengarang, yang mengagungkan karyanya. Dalam berkarya mereka tidak akan bisa berhasil maksimal apabila diharuskan memenuhi berbagai macam syarat, bagaimana pun kreatifitas mereka sebagai jati diri tetap akan muncul dalam hasil karya mereka. Begitu pula dalam melukiskan atau menggambarkan perempuan yang jelek, secara tidak sadar mereka akan membayangkan watak perempuan yang tidak disukainya. Dengan merangkai bayangan itu, maka mereka dapat dengan lancar membentuk karakter perempuan yang jelek tersebut dalam lagu-lagu mereka, tanpa melenceng jauh dari aturan yang berlaku. Sebagai contoh adalah kumpulan lirik lagu Doel Sumbang.
Lirik lagu selalu berhadapan dengan keadaan yang paradoksal. Artinya, di satu pihak merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, yang otonom, dan yang boleh dan harus dipahami dan ditafsirkan pada dirinya, sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu saja, yaitu patuh-setia pada dirinya sendiri. di pihak lain, tidak ada lirik lagu mana pun yang berfungsi dalam situasi kosong. Setiap lirik lagu merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya, merupakan pelaksanaan pola harapan pada pembaca yang ditimbulkan dan ditentukan oleh sistem kode dan konvensi
Lirik lagu termasuk ragam karya sastra yang memiliki pesan yang amat dalam. pesan-pesan yang ada dalam lagu dapat tercermin langsung maupun dalam bentuk tanda-tanda. Sebagaimana pendapat Aminuddin (1997:77) yang mengatakan bahwa semiotika dalam studi sastra memiliki tiga asumsi, yakni pertama, karya sastra merupakan gejala komunikasi yang berkaitan dengan (i) pengarang, (ii) wujud sastra sebagai sistem tanda, dan (iii) pembaca. kedua, karya sastra merupakan salah satu bentuk penggunaan sistem tanda (system of signs) yang memiliki struktur dalam tata tingkat tertentu. ketiga, karya sastra merupakan fakta yang harus direkonstruksikan pembaca sejalan dengan dunia pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya.
Pemilihan lirik lagu Doel Sumbang sebagai objek penelitian ini tidak lain kerana dibalik image lirik lagu-lagu Doel Sumbang yang hanya mengisahkan tentang cinta antara dua sejoli, ternyata doel sumbang sebagai seorang musisi juga mengangkat tema-tema tentang sosial kemasyarakatan yang dikemas sedemikian rupa sehingga terbentuk sebuah lagu yang indah dan “enak” didengarkan.
Objek penelitian ini adalah kumpulan lirik lagu Doel Sumbang. Kumpulan lirik lagu Doel Sumbang dalam penelitian ini berjumlah 18 lagu (yakni: Aku, Juwita, Gembrot, Keki, Aku Tidak Sinting, Asal Usul, Tumaritis, Rampok, Arti Kehidupan, Kasur Kapuk, Gila Tidak Waras Tidak, Ai, Hoi, Sakit Jiwa, Si Anu, Anjing Menggonggong Kafila Berlalu, Suparti, Silingo). Namun, dari sekian banyak lirik lagu dalam kumpulan lirik lagu Doel Sumbang ini yang dijadikan sampel ada 3 buah lirik lagu, yakni Si Anu, Aku, dan Tumaritis. Pengambilan ketiga sampel ini didasarkan bahwa ketiga lirik lagu ini memiliki keterkaitan antara lirik yang satu dengan lainnya dalam segi topiknya, yakni perempuan-perempuan jalanan.

B. Landasan Teori
Kata semiotika berasal dari bahasa yunani, semeion yang berarti “tanda” (Van Zoest, 1996:vii). Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika (Kurniawan, 2001:49).
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkontitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179).
Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra misalnya ini misalnya, kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda dan apa yang ditandakan (semantik).
Berbicara tentang semiotika, maka terdapat dua pendekatan yang seringkali dijadikan sebagai rujukan para ahli, yakni semiotika komunikasi yang dipelopori oleh Charles Sander Peirce dan semiotika signifikasi yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan) (Hoed, 2001:140). Sementara semiotika signifikasi memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan semiotika Ferdinand de Saussure. Pendekatan yang didasarkan pada pandangan Ferdinand de Saussure ini mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep dimana citra bunyi disandarkan. inilah antara lain, yang dikatakan Saussure:
saya menyebut kombinasi konsep dan citra bunyi sebagai tanda, namun dalam penggunaan dewasa ini,dalam istilah umum, hanya digunakan citra bunyi. sebuah kata yang digunakan untuk contoh (arbor [pohon], dsb) orang cenderung menggunakan bahwa kata arbor dinamakan tanda hanya kerana kata tersebut mengandung konsep tentang pohon (tree) akibatnya konsep tentang ide panca indera secara tak langsung menyatakan bagian ide tentang keseluruhan.
ambiguitas akan muncul bila ketiga makna yang tercakup di sini ditandai dengan tiga makna yang masing-masing maknanya berlawanan satu sama lain. saya bermaksud memastikan bahwa kata “tanda” (signe) itu untuk menyusun keseluruhan dan untuk menggantikan konsep dan citra bunyi masing-masing dengan “petanda” (signifie) dan “penanda” (signifian). kedua istilah terakhir lebih menguntungkan untuk mengindikasikan oposisi keterpisahannya dari aspek yang lain dan dari aspek keseluruhan yang membangunnya
(Alex Sobur, 2003: 32)

Tanda itu sendiri, dalam pandangan Saussure, merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi—dan sering diidentifikasi dengan citra bunyi itu sebagai penanda. jadi, penanda dan petanda merupakan unsur-unsur mentalistik. dengan kata lain,di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. dengan kata lain kehadiran yang satu berarti pula kehadiran yang lain seperti dua sisi kertas (Masinambow, 2000:12)
Teori mengenai semiotika signifikasi tidak dapat dilepaskan dari dasar-dasar ‘semiotika struktualisme’ yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure. Ferdinand de Saussure mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosoal. Definisi ini dimaksudkan bahwa bila tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, maka tanda juga merupakan bagian dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Ada sistem tanda dan sistem sosial yang keduanya saling berkaitan.
Berkaitan dengan definisi di atas, Saussure mengusulkan dua model analisis bahasa, yaitu analisis bahasa sebagai sebuah sistem (langue), dan bahasa sebagaimana ia digunakan secara nyata oleh individu-individu dalam berkomunikasi secara sosial (parole) (Sobur, 2003:vii).
Semiotika Signifikasi pada prinsipnya adalah semiotika pada tingkat lange. Dalam kerangka kerangka langue, sausure menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang, yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan ‘bentuk’ atau ‘ekspresi’ dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan’konsep’ atau ‘makna’.
Relasi antara penanda dan petanda didasarkan pada konvensi inilah yang disebut sebagai signifikasi. Dengan demikian semitika signifikasi adalah semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu.
Semiotika signifikasi menaruh perhatian pada ‘relasi’ sistemik antara perbendaharaan, aturan pengkombinasian (code), serta konsep-konsep (signified) yang berkaitan dengannya. Kode adalah seperangkat aturan atau konvensi bersama yang di dalamnya tanda-tanda dapat dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan dikomunikasikan dari seseorang kepada orang lainnya.
Dari penjelasan di atas, dapat di tarik suatu simpulan bahwa semiotika signifikasi yang yang berakar pada pemikiran bahasa Saussure, meskipun lebih menaruh perhatian pada tanda sebagai sebuah sistem dan struktur, akan tetapi tidak mengabaikan penggunaan tanda secara konkret oleh individu-individu di dalam konteks sosial. Semiotika signifikasi tidak dipersoalkan adanya tujuan komunikasi, sebaliknya yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda.

C. Pembahasan
Dalam merepresentasikan seorang perempuan, Doel Sumbang dalam lirik lagunya menggunakan tiga wujud simbolisme, yakni “wajah”, “badan”, dan “baju”.
Dalam lirik lagunya, doel sumbang menyebutkan/mengambil wujud simbolisme “wajah” sebagai representasi wanita.
ah...ah...ah
perempuan yang wajahnya kurang bagus itu

Pada penggalan lirik lagu di atas, doel sumbang mengatakan yang kurang bagus adalah wajah perempuan, kenapa bukan sifat atau perilaku. kalau kita mencermati ternyata orang dikatakan cantik pertama kali yang dilihat adalah wajahnya, apabila wajahnya tidak berjerawat, kuning, dll maka orang lain akan langsung menganggap bahwa wanita itu cantik tanpa memikirkan bagaimana tingkah lakunya, bagaimana anggota tubuh yang lainnya. Jadi wajah merupakan sentral perhatian orang terhadap perempuan. Oleh karena itu, doel sumbang mengambil symbol wujud wajah sebagai representasi dari kecantikan atau harga diri seorang perempuan.
Selain wajah sole sumbang juga mengambil wujud “pakaian/baju” dan juga “badanmu” untuk merepresentasikan wanita.
sekarang badanmu sudah tak bersih lagi
sekarang bajumu sudah tak rapi lagi
kotor oleh debu kedudududu

Pada kutipan lirik lagu tersebut Doel Sumbang mengambilkan kata “baju” sebagai wujud simbolisme perempuan. Baju sebagaimana kita ketahui adalah sebagai penutup rasa malu. Misalanya seseorang yang tidak berpakai tentunya akan dikatakan orang gila, tidak punya malu, dan lain lain. Sangat tepat sekali bila Doel Sumbang merepresentasikan wanita dengan wujud simbolisme “baju”, karena seorang perempuan mempunyai rasa malu yang tinggi dibandingkan dengan laki-laki atau dengan kata lain “baju” yang merupakan representasi rasa malu sangat dijunjung oleh perempuan.
Semetara penggunaan kata “badan” sebagai wujud simbolisme dari perempuan yang pilih Doal Sumbang sangat wjar. Seorang perempuan akan sangat marah atau kesal kepada dirinya sendiri, kalau badannya gemuk. Perempuan akan bingung ketika berat badannya semakin bertambah. Sebaliknya, perempuan akan sangat senang bila berat badannya menurun. Dengan demikian penggunaan kata “badan” sebagai wujud simbolisme seorang perempuan adalah wajar, karena badan bagi perempuan sudah menjadi ciri khas dan daya tarik tersendiri, sehingga wujud simbolisme “badan” sudah dapat mewakili perempuan secara keseluruhan.

Ø Perempuan pelacur
Pada lagu doel sumbang diceritakan tentang perempuan-perempuan pelacur. Dalam lirik lagunya doel sumbang mengatakan bahwa perempuan pelacur adalah perempuan yang kurang bagus.
ah...ah...ah
perempuan yang wajahnya kurang bagus itu
adalah perempuan yang sering pergi sore, pulang pagi
siang molor, malam melek


perempuan yang wajahnya kurang bagus itu
adalah perempuan yang laris
begitu banyak yang suka
begitu banyak yang cinta
siapa dia? siapa dia?
Segala macam si dia punya
Jual apa, menjual apa?
Jual apa, dijual berapa?



Ø Perempuan penggoda
yaitu kota bandung
kota kembang yang sekarang sudah menjadi kota kambing
dimana bnyak gadis mengaku tidak perawan
lantaran jatuh dari pohon keres sang tetangga
atau kuserempet kendaraan roda empat buatan jepang

aku masuk sekolah dasar alternatif
yang ibu gurunya centil-centil
serta suka berpakaian lahap tembus pandang
hingga di dadanya nampak belahan
seperti bentuk ketepel

Ø Perempuan pembohong

sekarang sudah bukan lagi alat-alat kosmetik
perias wajahmu

sekarang badanmu sudah tak bersih lagi
sekarang bajumu sudah tak rapi lagi
kotor oleh debu kedududu
oleh debu kelicikan
oleh debu kebejatan
oleh debu kebejatan moral
oleh debu kemunafikan
dalam diriku tumbuh hasrat
hasrat tuk memandikanmu
tapi ku tak mampu


Sebagaimana dijelaskan dalam kajian pustaka, bahwa semiotika signifikasi merupakan kajian relai sisitemik.dalam kajian Relasi sistemik ini bisa kita lihat dalam penggalan lirik lagu “Si Anu” dalam kumpulan lirik lagu Doel Sumbang sebagai berikut:
perempuan yang wajahnya kurang bagus itu
adalah perempuan yang pernah jadi
kekasih si itu, kekasih si ini
Simpanan si A, simpanan si B, simpanan si C, simpanan si D

Dalam penggalan lirik lagu di atas terdapat relasi sistemik antara perbendaharaan “simpanan si A, simpanan si B, simpanan si C, simpanan si D” bila dikombinasikan dengan “perempuan yang wajahnya kurang bagus itu” kemudian dikombinasikan lagi dengan “adalah perempuan yang pernah jadi”, sehingga hasil kombinasi tersebut memunculkan suatu konsep (dalam hal ini pesan atau makna) bahwa wanita yang selingkuh (petanda dari simpanan si A, simpanan si B, simpanan si C, simpanan si D) merupakan ciri wanita yang kurang baik.